‘Penjahat’ Kecil dari Klungkung
Ketertarikan dan bakat Dewa Budjana pada
musik – khususnya gitar – sudah sangat dominan terlihat sejak ia masih duduk di
bangku sekolah dasar di Klungkung Bali. Saat itu yang ada dalam benak Budjana
kecil mungkin udah penuh dengan bayangan gitar, gitar……..dan gitar aja.
Sampe-sampe di benak doi yang masih hijau itu bayangan gitar yang selalu ada
itu terimplementasi menjadi suatu rencana “kejahatan kecil”. Doi pengen banget
punya gitar. Mau minta langsung ama kakek/neneknya (saat itu doi tinggal/ikut
kakeknya) dioi pikir pasti nggak bakal dikasihlah. Makanya akhirnya timbul niat
“jahat” tadi, yaitu nyuri uang kakeknya untu beli gitar. Bak penjahat
profesional yang mau beroperasi, segala sesuatunya sudah betul-betul matang
direncanakan. Kebetulan kakek neneknya adalah pelantun kidung / kakawin. Setiap
Sabtu pasangan itu selalu “live on air” di RRI Klungkung melantunkan
kakawin-kakawin.
Nah, ini kondisi yang ter-planning di benak sang ‘penjahat’
kecil Dewa Budjana. Seperti lazimnya rumah-rumah di Bali, dalam satu keluarga
komposisi rumah selalu ada rumah induk yang dan rumah-rumah di sekelilingnya.
Kakek-nenek Budjana tinggal di rumah induk yang setiap mereka berdua pergi
selalu dikunci rapat. Rencana “operasi gitar perdana” (begitu ‘kali kalo diberi
judul) sudah betul-betul matang. Sebelum kakek-nenek berangkat ke RRI sang
‘penjahat’ sudah menyelinap ke rumah induk dan sembunyi di bawah kolong. Begitu
kakek-nenek pergi dan mengunci rumah dari luar, otomatis sang ‘penjahat’ bisa
leluasa beroperasi. Operasi itu rupanya termasuk operasi kilat, nggak nyampe
bilangan belasan menit Budjana sudah berhasil mengantongi sepuluh ribu rupiah
dan kabur lewat jendela (dikit banget yah hasil jarahannya ; namanya juga
penjahat kecil-kecilan).
Besoknya Budjana tak sabar lagi segera
cabut ke Denpasar untuk merealisasikan obsesinya selama ini. Akhirnya……….dia
pun sukses membawa gitar akustik lokal tanpa merek (buatan Solo) pulang ke
Klungkung. Dan…….pas banget, harga gitarnya juga sepuluh ribu rupiah. Itu
adalah gitar pertama yang dia miliki sepanjang karirnya di musik. Sayang sekali
gitar bersejarah itu sudah nggak jelas lagi juntrungnya. Kalo ada akan semakin
perfect-lah jajaran koleksi gitar Budjana yang sekarang sudah mencapai jumlah sekitar
tiga puluhan itu. (mendampingi gitar elektrik pertamanya yang berhasil diburu
lagi setelah sempat dijual)
Dengar Budjana mulai genjrang-genjreng
dengan gitar barunya, sang nenek pun (yang udah tahu kalo duitnya ilang Rp
10.000) langsung mafhum. Nyamperin Budjana yang lagi asyik dengan gitar barunya
dan langsung dengan sedikit puitis (dasar pelantun kidung) ngomong ke doi :
“Tadi malam aku mimpi kehilangan duit Bud…….”, ujar sang nenek. Budjana pun
langsung berubah casting dari ‘penjahat’ menjadi ‘ksatria’, “Oh iya, itu memang
aku yang nyuri”, aku Budjana polos. “Aku nyuri buat beli gitar”, sambung
Budjana. Dan sang nenek udah nggak bisa apa-apa lagi. Beressss……..urusan
casting ‘penjahat’ udah kelar, sekarang mulai casting peran baru dan panjang…….gitaris!
Wah, kayaknya casting gitarisnya belum
clear bener dari pengaruh casting ‘penjahat’.
Sejak punya gitar Budjana jadi rada lesu
darah untuk sekolah. Maunya gitaran terus aja sepanjang hari. Jelas itu bukan
jenis kemauan yang bakal direstui sesepuh. Nah di sini nih casting
‘penjahat’nya masih ada. Whatever, bagi Budjana nomore satu adalah gitar. Jadi
kalo jam berangkat sekolah dia pun pake seragam dan pamit ama kakek-neneknya
berangkat sekolah. Akan tetapi………….karena lokasi kamarnya terpisah dari rumah
induk dia pun dengan mudah setelah pamit sekolah puter balik kembali ke
kamarnya dan langsung ‘menggauli’ gitarnya lagi sampe saat jam pulang sekolah
langsung lanjut adegan ‘adegan sinetron’ pulang sekolah. Pake sepatu lagi,
keluar kamar muter sedikit dan langsung balik ke rumah induk, say hello ama
grandfa en grandma seakan pulang sekolah (he..he..he…bisa aja elo Budj!)
Ditanya soal materi apa aja yang dia ulik
dengan gitarnya itu sepanjang hari, mengingat waktu itu jelas referensi untuk
belajar gitar jelas minim banget – apa lagi untuk kota sekaliber Klungkung.
“Yaah…cuman denger-denger dari kaset aja….sama ngarang-ngarang sendiri”, jelas
Budjana. “Lagu pertama aku belajar gitar waktu itu lagunya Deddy Dores
‘Hilangnya Seorang Gadis’ dan lagunya Rollies ‘Setangkai Bunga’”, kenang
Budjana. Saat itu Budjana sama sekali belum tersentuh literatur-literatur
musik/gitar yang formal. Buru-buru buku gitar, untuk bisa ngikuti perkembangan
musik – khususnya di Indonesia – aja dia harus bela-belain ke Denpasar tiap minggu
untuk beli majalah Aktuil (satu-satunya majalah berita musik yang terbit di
tahun tujuhpuluhan itu). Fenomena ini juga bisa ngegambarin gimana intensnya
interes Budjana ke musik. Temen-temen sebayanya saat itu nggak bakal deh
bela-belain tiap minggu ke Denpasar pulang balik hanya buat beli Aktuil. Lagian
paling juga Budjana aja di lingkungan temen SD-nya yang tertarik ama majalah
Aktuil. Paling bacaan mereka juga sejenis majalah Bobo gitu.
Tahun 1976 Budjana ikut bokapnya yang
dipindahtugaskan ke Surabaya. Di Surabaya inilah tapak karirnya di musik
semakin jelas. Dia melanjutkan sekolah di SMP Negeri I dan kebetulan sekolah
yang satu ini kegiatan ekstra kurikulernya cukup oke punya, khususnya di sektor
ekstra kurikuler musiknya. Tiap tahun sekolah ini menggelar malam kesenian
untuk menampung aspirasi murid-muridnya di bidang seni.
Dan di SMP I ini pula Budjana mendapat
pengalaman manggung pertama kali. Saat persiapan malam kesenian seperti biasa
diadakan seleksi (audisi) buat murid-murid yang ingin tampil. Dan Budjana pun
ikut ngedaftar dengan materi lagu andalan saat pertama kali dia bisa main gitar
: “Setangkai Bunga”.
Tiga tahun dia menambah pengalaman dan
jam terbangnya berolah musik dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler di SMP I.
Pucuk dicinta ulam tiba. Dia di Surabaya lebih bisa memuaskan kehausannya pada
ilmu-ilmu bermusik secara lebih formal. Budjana mulai belajar gitar klasik
kepada Pek Siong di Yayasan Seni Musik Indonesia . Sementara selama dia di
Klungkung referensi musiknya masih sangat terbatas. Di Surabaya dia mulai
mengenal dan tertarik pada jenis musik-musik lain yang sebelumnya belum dia
kenal karena keterbatasan referensi tadi. Budjana mulai tertarik dengan John Mc
Laughlin (Mahavishnu Orchestra) dan bahkan jadi mengubah visi bermusik Budjana.
Album “Birds of Fire” dan “Natural Element” (Shakti) adalah album Mc Laughlin
yang menjadi favorit Budjana. Selain itu dia juga cukup interes dengan
musik-musik artrock semacam Yes, Gentle Giant dan lainnya.
Lulus SMP Budjana melanjutkan ke SMA
Negeri 2 tahun 1980. Tak beda jauh dengan saat di SMP I, SMA 2 pun kegiatan
musiknya sangat oke! Bahkan lebih intens. Saat di SMA ini Budjana mulai
mendengarkan Pat Metheny dan ini sangat terpengaruh pada pola dan cara bermain
gitar Budjana. Juga album-album produksi ECM seperti John Abercrombie, Keith
Jarret dan Bill Frissel.
Tahun 1981 Budjana bersama beberapa
temannya di SMA 2 membentuk Squirell Band dan bersama band inilah Budjana
semakin berkiprah di blantika musik. Secara rutin Squirell mengisi acara jazz
di TVRI stasiun Surabaya, juga panggung-panggung sekolah dan kampus di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Puncak prestasi Squirell adalah saat berhasil meraih
juara I Light Music Contest di Jakarta tahun 1984. Saat itu Squirell membawakan
komposisi Dewa Budjana “Nusa Damai”. Yang unik saat itu Budjana memakai
fretless guitar desainnya sendiri (dengan body berbentuk bintang) yang sekarang
sudah menjadi salah satu pajangan di Hard Rock Café Jakarta bareng gitar-gitar
para gitaris dunia.
Tahun 1985 Budjana hijrah ke Jakarta
dengan pertimbangan bahwa peluang untu mengembangkan karir di Jakarta lebih
luas terbuka. Selain itu dia merasa teman-temannya bermusik di Surabaya dirasa
nggak terlalu total ke musik, nggak seimbang dengan dia yang bener-bener total
di musik dan itu dianggap akan menghambat karirnya secara individu maupun
secara grup.
Mulailah sang ‘penjahat’ kecil membuka
lembaran baru di ibukota. Gimana crita awal-awalnya Dewa Budjana di Jakarta
sampai akhirnya menjadi GIGI, yaaaaaaah………baca aja deh di edisi bulan depan.
Caoo…….. (res)
oooOooo
Diambil dari Tabloid GIGINEWS edisi “NIRWANA”, Juni 2000
Jurus Melawan Rutinitas Jakarta
Setelah berada
di tengah-tengah ramenya Jakarta tahun 1985, apa yang dilakukan Budjana?
Merasa udah
pernah meraih juara bareng Squirell di Light Music Contest setahun sebelumnya,
Budjana menganggap sudah banyak orang tahu dan mengenal dirinya dia sebagai
musisi. Belakangan terbukti dia cuma ge-er.
Ceritanya,
berbekal referensi bahwa Squirell Band
yang punya komposisi jazz sendiri,
Budjana nekat datang ke pub untuk mulai menjajagi dunia entertain, lalu
nyoba-nyoba nge-jam ama grup yang
sedang main. Apa yang terjadi? Saat disuruh main lagu jazz standar yang
termasuk gampang pun, ternyata dia nggak mampui nggak bisa.
Dari situ
Budjana baru sadar manfaat belajar jazz standar. Budj (begitu panggilan
akrabnya) langsung aja nemuin almarhum Jack Lesmana, maestro jazz kita, dan
kepada bokap Indra Lesmana ini Budj ‘mendaftarkan’ diri sebagai murid. Memang
nggak salah alamat kalo pengagum Mahatma Gandhi ini berguru pada Jack Lesmana,
dari beliau Budj banyak mengenal dan mendapatkan filosofi-filosofi bermain
jazz, termasuk – tentu saja -- standard
jazz.
Lantas, kenapa
memilih jazz? Budjana berkisah, awalnya karena pengaruh tren musik saat pertama
dia mulai intens di musik. Di akhir tahun 70-an saat Budjana masih SMP di
Surabaya, yang sedang ngetren adalah musik-musik yang saat itu diistilahlan
sebagai jazz rock atau juga jazz kontemporer. Banyak kaset-kaset yang beredar
dengan label atau judul “Contemporary
Jazz”, “Jazz Vocal” dan
sebagainya dengan materi seperti musisi Al
Dimeola, John Mc. Laughlin ataupun grup-grup seperti Weather Report, Return to Forever, dll.
Budjana
mengaku banyak belajar dari situ. Saking seringnya tampil bersama Squirell-nya dalan event jazz di
Surabaya, akhirnya orang lebih mengenal Budjana sebagai pemain jazz. Padahal
Budjana dan temen-temennya di Squirell
sebenarnya nggak ada yang nguasain jazz secara yang sebenarnya. Di lingkungan
musisi jazz sudah membudaya kalo lagi ngumpul-ngumpul secara spontan mereka
akan main bareng, istilahnya nge-jam.
Ternyata, setiap kali kesempatan itu datang anak-anak Squirell selalu mati kutu. Jazz bohong-bohongan dong?
“Yah mungkin
waktu itu kita cuma kebawa tren aja, jadi rada ada sok jazz-nya lah, cuma kenal
kulitnya doang. Nggak mikir bahwa perlu belajar serius dari yang standar”,
kilah Budjana. Melewati masa itu menurut Budjana ada bagusnya juga. “Kita jadi
punya bekal dan terasah untuk menjadi senang bikin komposisi sendiri”, ujarnya.
Kreasinya yang pertama untuk komposisi combo berjudul Legong Kusamba.
“Sebelum itu
sih sering juga ngarang-ngarang untuk kebutuhan operet di sekolah, tapi
sifatnya ya hanya sepenggal-sepenggal aja sesuai dengan kebutuhan cerita”,
jelas penggemar warna biru ini.
Setelah merasa
cukup punya bekal dari sang suhu, tahun 1986 Budjana ‘turun gunung’ mulai
berkiprah dari pub ke pub sebagai session
player memainkan top 40 dan
musik-musik lain konsumsi dunia hiburan malam. Selain itu juga main di
klub-klub jazz. Itu berlangsung sampai tahun 1993. Ditanya soal dampak
positif-negatifnya main rutin di dunia hiburan malam selama itu Budjana
menjelaskan, “Kami jadi lebih mengenal dan lebih peduli tentang sound (warna suara)
khususnya kalo kami bawain top 40
sebab kami kan bawain macam-macam lagu. Kami jadi mengenal berbagai jenis lagu.
Selain itu menambah reflek kami dalam bermain musik, dengan seringnya main kalo
kami denger satu chord, kamiharus
main ke mana, mainin yang gimana jadi bisa lebih reflek ngikutinnya”.
“Satu lagi,
kami bisa belajar menghargai orang lain, dalam hal ini adalah tamu-tamu pub.
Kami nggak bisa main semaunya sendiri tanpa mempedulikan selera tamu”, lanjut
Budjana. Dampak negatifnya menurut Budjana kelamaan main di pub cenderung
menghilangkan kreativitas.
“Untungnya
waktu itu aku masih sering ke Farabi
(yayasan/sekolah musik. red.) Ngajar, terus kadang-kadang latihan dengan
formasi trio, walaupun frekuensinya kecil paling tidak aktivitas berkreasi
masih terjaga”, sambungnya.
Pada umumnya
segala aktivitas yang sifatnya rutin tanpa penyegaran-penyegaran akan membuat
kita jadi jenuh, suntuk, mentok dan akhirnya mandeg. Untuk mengantisipasi itu
Budjana punya kiat rada unik. Saat dia rutin memainkan jazz standar di
klub-klub jazz, di luar itu sehari-harinya dia malah dengerin lagu-lagu pop
seperti milik Toto. Sebaliknya saat di udah gabung ama Hydro – yang dominan
bawain lagu-lagu sejenis Toto – dia malah sering dengerin lagu-lagu jazz
standar. Biar seimbang, mungkin itu maksudnya.
Budjana memang
lolos dari jebakan rutinitas ‘main malam’ (istilah musisi untuk main rutin di
pub, café atau klub)., karena di samping itu juga aktif sebagai session player di dapur rekaman, di
konser-konser big band/orchestra juga
sempat gabung dengan beberapa band.
Awal Budjana
hijrah ke Jakarta sempat gabung dengan Indra
Lesmana Group. Juga sebagai gitaris di Jimmy
Manoppo Big Band, Orkes Telerama, Elfa’s, Twilite Orchestra, Erwin Gutawa
Orchestra dan lain-lain. Tentu saja aktivitas-aktivitas itu menuntut
kemampuan dalam membaca dan memahami not secara prima. Di sini Budjana lebih
banyak lagi belajar membaca not dan makin banyak mengenal karakter musik.
Sebagai session player di dapur rekaman cukup
banyak juga petikan gitarnya menghiasi album rekaman seperti : Catatan si Boy 2, Indra Lesmana, Andre
Hehanusa, Heidy Yunus, Memes, Chrisye, Mayangsari, Dewi Gita, Desy Ratnasari,
Potret, Trakebah, Caesar (Deddy Dores), Nike Ardila, dll.
Tahun 1989
Dewa Budjana gabung dengan Spirit Band
dan sempat menghasilkan dua album. Yang pertama dirilis tahun itu juga dengan
judul yang sama dengan nama grupnya, “Spirit”
, dan yang kedua dirilis pada 1993 dengan judul “Mentari” yang diambil dari judul lagu karya kolaborasi Budjana
(lagu) & Ingrid Widjanarko
(lirik). Lepas dari Spirit, pengidola
Bill Frissel ini gabung ama Indra Lesmana, Embong Rahardjo dan lainnya
membentuk Java Jazz dan bermain rutin di Jamz.
Setahun kemudian Java Jazz ikut ambil bagian di perhelatan akbar musisi jazz
dunia North Sea Jazz Festival di Den Haag Belanda. Tahun itu juga grup jazz ini
menelurkan album dengan judul Bulan di
Atas Asia.
Pada 1992
Budjana pernah menyampaikan keinginannya untuk membentuk grup band dengan dua
pemain gitar. Keinginannya tersebut baru terwujud dua tahun kemudian, yaitu
pada 1994. Dia membentuk band dengan formasi dua gitaris, berpasangan dengan
Baron. Band itulah yang sekarang kamu kenal dengan nama GIGI.
Nggak kejebak
rutinitas di GIGI Budj? “Pasti terjadi juga, kayak saat tur Kilas Balik 33 kota pasti timbul
kejenuhan, bedanya kalo di GIGI kan dalam rutinitasnya masih ada rutinitas
aktivitas berkarya, nggak seperti ‘main
malam’ yang terus memainkan lagu orang. Itu yang paling bahaya!”, tandasnya.
“Lagipula di
GIGI kan kerja tim. Dalam proses kreatif bisa saling mengisi, kalo yang satu
lagi turun mood-nya yang satunya mood-nya lagi bagus. Jadi proses kreatif
secara tim akan terus berjalan”, lanjutnya. Selain itu Budjana membuat
komposisi-komposisi untuk album solonya juga merupakan satu bentuk penyegaran
yang lain dari aktivitas di GIGI. Makanya dia punya target paling tidak dua
atau tiga tahun sekali dia rencanakan bikin album solo di tengah program album
GIGI yang targetnya setahun sekali.
Tahun 1997
Budjana menelurkan album solo pertamanya dengan judul “Nusa Damai” yang merupakan
kumpulan komposisinya sejak awal doi mengenal gitar. Banyak pemerhati musik
menyebut Nusa Damai sebagai
otobiografi perjalanan musik gitaris penggemar film action ini. Di salah satu nomor album ini (“Ruang Dialisis”) Budj melibatkan almarhumah neneknya – yang duitnya
pernah dicuri ‘Budjana kecil’ untuk beli gitar (baca edisi Juni) – untuk
melantunkan kidung. Tahun ini Budjana juga sudah merampungkan album solo
keduanya yang diberi judul “Gitarku”
yang tinggal tunggu jadwal rilis aja.
Ditanya
tentang gimana membagi waktu antara kegiatannya di GIGI dengan program solonya yang mungkin nantinya akan
menyita banyak waktu, misalnya, untuk promo dan konser-konsernya, dia menjawab
mantap: “GIGI tetap prioritas utama!” (baca box: Ketika Budjana Harus Memilih).
*(res)
oooOooo
Ketika Budjana Harus Memilih….
Bak judul sebuah sinetron, begitulah kehidupan Dewa Budjana. Baginya, GIGI merupakan bagian terbesar dari
perjalanan karirnya sebagai gitaris. Karena itu, ketika ditanya kemungkinannya
untuk cabut dari grup tersebut, dia menjawab dengan mantap. “Nggak mungkinlah
aku ninggalin GIGI, kecuali ada kondisi-kondisi yang nggak memungkinkan lagi
aku bareng anak-anak GIGI lainnya di Jakarta”. Maksudnya, mungkin aja kan
terjadi kasus-kasus seperti di Ambon atau lainnya yang udah menyangkut SARA.
Mau nggak mau dia bakal ngacir ke Bali. “Kan nggak mungkin aktivitas GIGI
berpusat di Bali”, katanya berandai-andai.
Kekhawatiran mungkin Budjana terlalu berlebihan. Maka,
hal itu sebaiknya lebih dilihat sebagai
ungkapan rasa cintanya pada GIGI. Atau sekadar basa-basi?
“Selama aku pernah ngengrup sebelum GIGI dan dari
pengamatanku pada grup-grup yang ada, kayaknya di GIGI lah ku temui bentuk
toleransi yang paling bagus”, begitu alasannya. “Sebetulnya kurang objektif
kalo aku yang ngomong soal ini, karena aku ada di dalamnya. Harusnya orang lain
ya yang ngomong. Tapi kenyataannya ya
gitu itu yang aku rasakan”, sambungnya.
Memang dalam sebuah grup musik selain faktor teknis
maupun non teknis, toleransi antar
personel adalah faktor yang tak kalah penting. Perjalanan GIGI dari awal
terbentuknya memang tidak mulus.
Hengkangnya Baron, cabutnya Thomas, keluarnya Ronald, kemudian masuknya
Budhy dan Opet dilanjut dengan resign-nya
Opet dan kembalinya Thomas merupakan guncangan-guncangan beruntun yang menguji
kekokohan GIGI. Dan waktu telah membuktikan bahwa Budjana-Armand cukup tegar
dalam mempertahankan eksistensi GIGI.
Seperti diketahui, Dewa Budjana sempat merilis album
solo berjudul, Nusa Damai, yang
bernuansa personal dan jauh dari unsur komersialisme. Tapi tak tertutup
kemungkinan bahwa jenis musik seperti ini suatu saat bakal bisa diterima.
Dengan catatan strateginya mendapat perlakuan yang sama. Artinya, di situ ada
perencanaan, kerja sama dengan berbagai kalangan, dan lain sebagainya. Ini kan
hal yang menarik.
Budjana sendiri bukannya tidak menginginkan kondisi-kondisi seperti
itu. Tapi, baginya toleransi hal yang paling penting. “Yang sulit dalam hidup
ini kan toleransi…dan di GIGI toleransi
itu sangat bagus”, ujarnya. Dia lantas bercerita tentang Armand Maulana yang
lebih sering punya peluang untuk berkarier sendiri di luar grup, kayak jadi
presenter, model iklan, atau apa pun. Toh kenyataannya peluang itu nggak pernah
diambil. Lantas Budhy Haryono, misalnya. Tahun lalu pernah mendapat tawaran
untuk ikut konser atau workshop
selama beberapa minggu di Australia. Tawaran yang bagus itu nggak diambil
karena GIGI jadwalnya lagi padat.
“Aku pun begitu, GIGI adalah prioritas utama. Kalo aku bikin album solo, itu sekadar media untuk menyalurkan ekspresi dan kreativitas aja”, jelas gitaris yang suka traveling ini. “Sifatnya lebih eksklusif, kalo GIGI konsernya bisa padat banget (setahun bisa sampai 68 kali show. red), untuk soloku misalnya dalam bentuk konser gitar okestra setahun cuman empat kali udah cukup buat aku. Sekadar pengen ada aja sebagai simbol album soloku”, sambungnya. “Karena nggak mungkin ngejalanin bareng-bareng dengan kapasitas yang sama. Nggak mungkin bisa didapat dua-duanya”, lanjutnya lagi.
Jadi, jelas kan apa yang bakal dilakukan Budjana pada
saat dia harus memilih? *(res)
0 komentar:
Posting Komentar