KONSEP KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA

PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan permasalahan  kemanusiaan purba. Ia bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak pera...

KONSEP KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA



PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan permasalahan  kemanusiaan purba. Ia bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun.
Kemisikinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta hurup, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah disebar-terapkan, berjumlah dana telah dikeluarkan demi menanggulangi kemiskinan. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya mengapa kemisikinan masih menjadi bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat ini? Meskipun penanganan kemiskinan bukan usaha mudah, diskusi dan penggagasan aksi-tindak tidak boleh surut kebelakang. Untuk meretas jalan pensejahteraan, pemahaman mengenai konsep dan strategi penanggulangan kemisikinan masih harus terus dikembangkan.

KEMISKINAN
Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto, 2004:3).

Pengertian Kemiskinan
  1. Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002:3).
  2. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos,2002:4).
  3. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004).
  4. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001).
  5. Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi:
(a)   modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan),
(b)   sumber keuangan (pekerjaan, kredit),
(c)   organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial),
(d)   jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa,
(e)   pengetahuan dan keterampilan, dan
(f)     informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).



Dimensi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena yang berwayuh wajah. David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:
  1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi
  2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
  3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.
  4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi:
  1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan)
  2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
  3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
  4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
  5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
  6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.
  7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
  8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
  9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)(Suharto, dkk, 2004:7-8).

Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) yang kajiannya didasari oleh teori-teori pertumbuhan ekonomi, human capital, dan the production-centred model yang berporos pada pendekatan ekonomi neo-klasik ortodox (orthodox neoclassical economics) (Elson, 1997; Suharto, 2001; 2002a;2002b). Sejak ahli ekonomi “menemukan” pendapatan nasional (GNP) sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemakmuran negara pada tahun 1950-an, hingga kini hampir semua ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemajuan suatu negara.

Pengukuran kemiskinan yang berpijak pada perspektif “kemiskinan pendapatan” (income poverty) – yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan” – juga merupakan bukti dari masih kuatnya dominasi model ekonomi neo-klasik di atas.

Meskipun GNP dapat dijadikan ukuran untuk menelaah performa pembangunan suatu negara, banyak ahli menunjukkan beberapa kelemahan dari indikator ini. Haq (1995:46), misalnya, menyatakan:
“GNP reflects market prices in monetary terms. Those prices quietly register the prevailing economic and purchasing power in the system – but they are silent about the distribution, character or quality of economic growth.  GNP also leaves out all activities that are not monetised – household work, subsistence agriculture, unpaid services. And what is more serious, GNP is one-dimensional: it fails to capture the cultural, social, political and many other choices that people make”.

Seperti halnya GNP, pendekatan income poverty juga memiliki beberapa kekurangan. Seperti dinyatakan oleh Satterthwaite (1997:13-14) sedikitnya ada tiga kelemahan penggunaan pendapatan sebagai indikator kemiskinan:
1.     The concept of poverty based only on income fails to pay sufficient attention to the social and health dimensions of poverty as well as to other forms of deprivation associated with poverty.
2.    The use of income as the only measure of poverty minimises the involvement of the poor in determining what should be done to reduce poverty.
3.    The equation of poverty with income level obscures the underlying causes of poverty. It misses the extent to which households face other forms of deprivation due to the strategies they adopt to keep their incomes above the poverty line.

Karena indikator GNP dan pendapatan memiliki kelemahan dalam memotret kondisi kemajuan dan kemiskinan suatu entitas sosial, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif. Dintaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan Sen (1973); Social Accounting Matrix (SAM) oleh Pyatt dan Round (1977); Physical Quality of Life Index (PQLI) yang dikembangkan Morris (1977) (lihat Suharto, 1998).

Pada tahun 1990-an, salah satu lembaga dunia, yakni UNDP, memperkenalkan pendekatan “pembangunan manusia” (human development) dalam mengukur kemajuan dan kemiskinan, seperti Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI). Pendekatan yang digunakan UNDP relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Sebagaimana dikaji oleh Suharto (2002a:61-62), pendekatan yang digunakan UNDP berporos pada ide-ide heterodox dari paradigma popular development yang memadukan model kebutuhan dasar (basic needs model) yang dikembangkan oleh Paul Streeten dan konsep kapabilitas (capability) yang dikembangkan oleh Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.

Namun demikian, bila dicermati, baik pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh para pendahulunya, maupun pendekatan popular development yang digunakan UNDP belakangan ini, keduanya masih melihat kemiskinan sebagai individual poverty dan bukan structural and social poverty. Sistem pengukuran serta indikator yang digunakannya terpusat untuk meneliti “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan berdasarkan variabel-variabel sosial-ekonomi yang dominan. Kedua perspektif tersebut masih belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Metodanya masih berfokus pada “outcomes” dan kurang memperhatikan aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya. Suharto (2002a) menunjukkan bahwa:
In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement (Suharto, 2002a:68).

Kini, setelah pendekatan-pendekatan di atas dianggap belum memenuhi harapan dalam mengkaji dan menangani kemiskinan, perspektif kemiskinan yang bersifat multidimensional dan dinamis muncul sebagai satu isu sentral dalam prioritas pembangunan. Munculnya isu ini tidak saja telah melahirkan perubahan pada fokus pengkajian kemiskinan, terutama yang menyangkut kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan, melainkan pula telah melahirkan tantangan bagi para pembuat kebijakan untuk merekonsktruksi keefektifan program-program pengentasan kemiskinan.

Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan lokal yang berkelanjutan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang bersangkutan semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengidentifikasian “apa yang dimiliki oleh orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi sasaran pengkajian.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang miskin adalah manajer seperangkat asset yang ada diseputar diri dan lingkungannya. Sebagaimana ditunjukkan oleh studi Suharto (2002a:69):
There is a growing body of literature documenting that people who live in conditions which put their principal source of livelihood at recurrent threat will adopt strategic adaptation to minimise risk. The ways in which people plan strategically such coping behaviour critically determine their chances of survival as well as future economic well-being.
Keadaan di atas terutama terjadi pada orang miskin yang hidup di negara yang tidak menerapkan sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang dapat melindungi dan menjamin kehidupan dasar warganya terhadap kondisi-kondisi yang memburuk yang tidak mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi ini seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya.

COPING STRATEGIES: KONSEPSI DAN DIMENSI
Secara umum coping strategies dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, menurut Moser (1998), strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola atau memenej berbagai asset yang dimilikinya. Moser mengistilahkannya dengan nama “asset portfolio management”. Berdasarkan konsepsi ini, Moser (1998:4-16) membuat kerangka analisis yang disebut “The Asset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan asset seperti:
  1. Asset tenaga kerja (labour assets), misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak-anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga.
  2. Asset modal manusia (human capital assets), misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang untuk bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan kembalian atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya.
  3. Asset produktif (productive assets), misalnya menggunakan rumah, sawah,ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya.
  4. Asset relasi rumah tangga atau keluarga (household relation assets), misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittances).
  5. Asset modal sosial (social capital assets), misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan, dan pemberi kredit informal dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.
Keluarga dan Mata Pencaharian
Sebagian besar penelitian mengenai coping strategies menggunakan keluarga atau rumahtangga sebagai unit analisis. Meskpun istilah keluarga dan rumahtangga sering dipertukarkan, keduanya memiliki sedikit perbedaan. Keluarga menunjuk pada hubungan normatif antara orang-orang yang memiliki ikatan biologis. Sedangkan rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap namun tidak selalu memiliki hubungan darah. Baik anggota keluarga maupun rumahtangga umumnya memiliki kesepakatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama.

Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategis karena merupakan bagian dari atau bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi jender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan (Ellis, 1998). Chambers dan Conway (1992) menjelaskan berbagai komponen dan interaksi antara berbagai aspek mata pencaharian yang menunjang kehidupan. Suatu kehidupan ditunjang oleh interaksi antara orang, asset nyata dan asset tidak nyata. Orang menunjuk pada kemampuan mencari nafkah (livelihood capabilities), asset nyata menunjuk pada simpanan (makanan, emas, tabungan) dan sumber-sumber (tanah, air, sawah, tanaman, binatang ternak),  sedangkan aset tidak nyata menunjuk pada klaim dan akses yang merupakan kesempatan-kesempatan untuk menggunakan sumber, simpanan, pelayanan, informasi, barang-barang, teknologi, pekerjaan, makanan dan pendapatan (Chamber, 1995)

INDIKATOR MASUKAN DAN KELUARAN
Kemiskinan memiliki dimensi yang luas. Konsep kemiskinan memiliki wayuh arti, tergantung dari perspektif yang digunakan: apakah bermatra sosio-kultural, ekonomi, psikologi, atau politik. Seringkali kemiskinan diartikan dengan merujuk pada faktor-faktor yang menyebabkannya. Misalnya, pada konsep mengenai kemiskinan kebudayaan dan kemiskinan struktural. Yang pertama melihat budaya kemiskinan seperti malas, apatis, kurang berjiwa wiraswasta sebagai penyebab seseorang miskin. Yang kedua menilai bahwa struktur sosial yang tidak adil, korup, paternalistik sebagai penyebab kemiskinan. Sejalan dengan pendekatan ini, operasionalisasi kemiskinan biasanya dirumuskan berdasarkan indikator-indikator masukan (input indicators).

Pendekatan lainnya, melihat kemiskinan dari indikator keluaran (output indicators). Di sini, kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Seseorang dikatakan miskin, misalnya, kalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta hurup.

Pendekatan ini menghasilkan dua cara dalam mengukur kemiskinan. Cara pertama adalah dengan menyusun indikator tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi “garis kemiskinan” (poverty line). Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain sebesar $1 atau $2 AS per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan internasional yang seringkali menggunakan cara ini. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) biasanya mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di Indonesia. Saat ini, garis kemiskinan yang bisa dipakai secara luas adalah Rp.100.000 per kapita per bulan, tanpa memperhatikan perbedaan wilayah.
Cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit. Selain pendapatan atau pengeluaran, indikator komposit biasanya terdiri dari angka melek hurup, angka harapan hidup, atau akses kepada air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index).
Dengan demikian, kalau cara pertama mengukur kemiskinan hanya dari aspek ekonomi, cara kedua melibatkan aspek pendidikan dan kesehatan. Meskipun kedua cara memiliki keunggulan dan kelemahan, cara kedua dapat dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik, karena dapat menggambarkan kemiskinan lebih tepat dan akurat (lihat Suharto, 2003).

IKAN DAN KAIL
Penanggulangan kemiskinan dapat diibaratkan dengan analogi ikan dan kail. Sering dikatakan bahwa memberi ikan kepada si miskin tidak dapat menyelesaikan masalah. Si miskin akan menjadi tergantung. Kemudian, banyak orang percaya memberi kail akan lebih baik. Si miskin akan lebih mandiri. Benarkah?
Analogi ini perlu diperluas. Memberi kail saja ternyata tidak cukup. Meskipun orang punya kail, kalau ia tidak memiliki cara mengail ikan tentunya tidak akan memperoleh ikan. Pemberian keterampilan (capacity building) kemudian menjadi kata kunci dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Setelah orang punya kail dan memiliki keterampilan mengkail, tidak dengan serta merta ia dapat mengumpulkan ikan, jikalau lautan, sungai dan kolam dikuasai kelompok “elit”. Karenanya, penanganan kemiskinan memerlukan pendekatan makro kelembagaan. Perumusan kebijakan sosial adalah salah satu piranti penciptaan keadilan yang sangat penting dalam mengatasi kemiskinan.

PELEPAS
Penelitian yang melibatkan penggunaan indikator komposit pernah dilakukan Tim STKS Bandung dan Depsos RI dengan menggunakan konsep keberfungsian sosial (lihat Suharto, dkk, 2004). Konsep ini dirumuskan dalam tiga aspek: kemampuan keluarga miskin memenuhi kebutuhan dasar, menjalankan peran sosial, dan menghadapi goncangan. Berdasarkan penelitian ini, kemudian dikembangkan program anti kemiskinan bernama PEMANDU (Pemandirian Masyarakat Terpadu). PEMANDU terdiri dari program langsung dan tidak langsung. Program langsung diarahkan pada keluarga fakir miskin melalui pemberian modal usaha, bantuan pendidikan dan tunjangan kesehatan secara simultan. Program tidak langsung difokuskan pada Pemda melalui advokasi kebijakan Zona Bebas Fakir Miskin (ZBFM).
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang tidak mudah diatasi. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati. Penanggulangan kemiskinan memerlukan pemahaman mengenai dimensi dan pengukuran kemiskinan yang operasional. Setelah kemiskinan dapat dipotret secara akurat, strategi anti kemiskinan dapat dikembangkan. Strategi tersebut sebaiknya menyentuh pendekatan langsung dan tidak langsung, mikro dan makro, yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Komite Penanggulangan Kemiskinan bisa memulai agendanya dari pendekatan seperti ini.
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar